Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam - Tradisi Kawin Tangkap di Sumba: Antara Warisan Budaya dan Hak Asasi Manusia — Normal People ID

Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam - Tradisi Kawin Tangkap di Sumba: Antara Warisan Budaya dan Hak Asasi Manusia

Tradisi kawin tangkap di Sumba adalah salah satu aspek budaya yang unik dan beragam di Indonesia. Namun, seperti banyak tradisi budaya di seluruh dunia, kawin tangkap juga telah menjadi subjek kontroversi yang memicu perdebatan tentang hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan nilai-nilai tradisional.



Penulis: Dian Purnomo
Penerbit: Gramedia pustaka Utama 
ISBN : 9786020648453 
Jumlah Halaman: 300 halaman
Tahun Publikasi: 2020
Rekomendasi Usia: 17+
Harga: Rp 74,000 beli disini

Eitts, Tradisi Kawin Tangkap itu Apa SIh?

Tradisi kawin tangkap adalah upacara pernikahan di Sumba yang melibatkan "penangkapan" calon pengantin perempuan oleh calon pengantin laki-laki. Proses ini adalah simbol dari pengambilan tanggung jawab oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan dalam pernikahan. Ini juga melibatkan pemberian maskawin sebagai tanda komitmen.


Dalam Prakteknya Tradisi Kawin Tangkap Ternyata Penuh Dengan Kontroversi

Meskipun tradisi kawin tangkap memiliki nilai budaya yang kuat di Sumba, ada beberapa kontroversi yang muncul terkait dengan praktik ini:

  • Kesetaraan Gender: Salah satu kontroversi utama terkait tradisi ini adalah bahwa proses "penangkapan" calon pengantin perempuan dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Tradisi ini menunjukkan peran tradisional yang kuat bagi pria dalam mengambil keputusan terkait pernikahan, sementara perempuan seringkali memiliki sedikit atau tanpa hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dalam konteks ini.
  • Tekanan Sosial: Beberapa perempuan di Sumba mungkin merasa terpaksa untuk mengikuti tradisi kawin tangkap karena tekanan sosial dan ekspektasi budaya. Mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain dan harus tunduk pada tradisi ini, meskipun mereka mungkin tidak setuju dengan itu.
  • Perubahan Nilai Tradisional: Sementara tradisi ini dihormati oleh banyak orang di Sumba, ada generasi muda yang mulai meragukan nilai-nilai tradisional ini dan mempertanyakan apakah tradisi ini masih relevan dalam masyarakat modern. Ini menciptakan ketegangan antara generasi yang ingin mempertahankan tradisi dan generasi yang ingin melihat perubahan dalam norma-norma sosial.

Hal inilah yang menjadi tema utama buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam,

Magi Diela diculik dan dijinakkan seperti binatang. Sirna sudah impiannya membangun Sumba. Kini dia harus melawan orangtua, seisi kampung, dan adat yang ingin merenggut kemerdekaannya sebagai perempuan. Ketika budaya memenjarakan hati Magi yang meronta, dia harus memilih sendiri nerakanya: meninggalkan orangtua dan tanah kelahirannya, menyerahkan diri kepada si mata keranjang, atau mencurangi kematiannya sendiri.

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam ditulis berdasarkan pengalaman banyak perempuan korban kawin tangkap di Sumba. Tradisi kawin tangkap menggedor hati Dian Purnomo untuk menyuarakan jerit perempuan yang seolah tak terdengar bahkan oleh Tuhan sekalipun.

Bercerita tentang Magi Diela, perempuan yang baru saja selesai sekolah pertanian di Yogyakarta dan bekerja honorer sebagai penyuluh pertanian di kampung halamannya, Sumba. Ia bercita-cita untuk membangun Sumba, sayang impiannya pupus ketika Magi Diela diculik dan diperkosa oleh Leba Ali.

Dalam penculikannya, diketahui fakta bahwa termyata sang Ayah yaitu Ama Bobo ikut andil. Hal ini tentu makin membuat Magi Diela hancur. Dalam penolakannya kawin dengan Leba Ali, Magi Diela melakukan hal nekat untuk pertama kali. Dia melakukan percobaan bunuh diri dengan cara menggigit nadinya. Ketika upaya bunuh dirinya gagal, Magi Diela pun kabur dibantu Tara dan Dangu. Magi pun kabur ke Kupang dan Soe dibawah perlindungan LSM Gema Perempuan. Magi belajar banyak dan tentang hak-hak perempuan selama hampir 2 tahun. Hingga tiba-tiba Ama Bobo sakit dan memaksa Magi pulang kembali ke kampung di Sumba. Magi mengalami perang batin antara keluarga dan kemerdekaan dirinya sendiri. Akankah Magi bisa lolos dari Leba Ali untuk kedua kali?.


Membaca Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam jujur bikin bergidik karena cukup ngeri dan pada adegan kekerasan seksual digambarkan secara eksplisit. Hal ini juga yang bikin saya cukup marah dengan adanya tradisi kawin tangkap, tradisi yang konon sudah melenceng dari tradisiyang asli. Magi Diela seakan menjadi objek para lelaki, sang Ayah dan Leba Ali tentunya. Atas nama tradisi seorang perempuan tidak memiliki kehendak atas tubuh dan keingin sendiri. 

Ada budaya yang memang baik untuk dipertahankan, tetapi ada banyak sekali budaya di Indonesia yang bahkan harus dihapuskan karena merugikan pihak-pihak tertentu. - hal 20

Hal ini memang benar adanya, salah satunya kawin tangkap.


Saya suka gaya bercerita penulis yang mendetail, bahkan hingga pakaian sang karakter. Hal ini tentu menjadikan penggambaran di buku menjadi lebih nyata. Dengan tulisan yang cukup mengalir, buku ini sungguh menjadi buku yang sangat page-turner. Bisa diselesaikan sekali dudu (kalo gak ada kegiatan lain sih, hihihi). Ada juga foto hitam putih yang kadang diselipkan di akhir bab. Hal ini entah kenapa menjadikan cerita lebih hidup.

Secara keseluruhan saya sangat merekomendasikan buku ini untuk para perempuan agar bisa meraih kekebebasan yang adil dan setara. Bacalah sekali seumur hidup, agar kita tahu ada perempuan seperti Magi Diela diluar sana yang mungkin menjadi koraban praktek kawin tangkap.

Mendamaikan Nilai Budaya dan Hak Asasi Manusia

Dalam menghadapi kontroversi terkait tradisi kawin tangkap, pendekatan terbaik adalah mencari keseimbangan antara melestarikan warisan budaya dan memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Masyarakat Sumba dapat merenungkan bagaimana cara mengadaptasi tradisi ini agar lebih inklusif dan menghormati kehendak individu, khususnya perempuan.

Langkah-langkah yang dapat diambil termasuk mendiskusikan perubahan dalam praktik kawin tangkap yang lebih memperhatikan kehendak dan keputusan calon pengantin perempuan, serta mempromosikan pendidikan dan kesadaran tentang hak asasi manusia dan kesetaraan gender dalam masyarakat.

Ketika tradisi budaya bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia yang universal, penting bagi masyarakat untuk mencari solusi yang menghormati kedua sisi, mempertahankan kekayaan budaya mereka sambil menjaga hak-hak individu dan kesetaraan. Dengan dialog dan kerja sama, tradisi kawin tangkap di Sumba dapat berlanjut sambil tetap menghormati nilai-nilai hak asasi manusia yang penting.

Yuk baca detail kisah Magi Diela, kamu bisa dapatkan bukunya disini ya. Selamat membaca dan perjuangkan kemerdekaan diri!




0 comments